Rabu, 23 Juli 2008

Solusi baru cara bersekolah

Written by Sumardiono
ImageTahun ajaran baru. Semua orangtua bergegas, mengulangi ritual yang harus dijalaninya setiap tahun: menyiapkan sekolah untuk anak-anaknya dengan segala keluh-kesah yang terus berulang. Uang masuk, biaya gedung, biaya tahunan, biaya buku, biaya seragam, biaya kegiatan ekstra-kurikuler, dan aneka rincian biaya lain yang harus dibayarkan. Biaya terus membubung yang tak sama sekali tak ada kaitannya dengan kualitas pendidikan. Kualitas pendidikan meningkat atau tidak, biaya tetap harus naik.

Rasionalitas biaya pendidikan tak lagi terkait dengan kualitas output yang dihasilkannya. Biaya pendidikan hanya dihitung berdasarkan biaya produksi dan penyelenggaraan pendidikan. Semuanya terkait dengan inflasi dan kenaikan harga-harga barang. Tapi keterkaitannya dengan output pendidikan tak pernah dibicarakan sebagai sebuah pertanggung jawaban atas biaya yang harus dikeluarkan oleh orangtua.

Yang menjadi ironi, semua keluh-kesah itu terus berulang setiap tahun. Orangtua "dipaksa" untuk menerima dan menelan semua biaya yang diajukan oleh sekolah. Proses penyesuaian biaya tidak pernah terjadi pada sistem pendidikan, tetapi selalu orangtua yang menjadi korban dan harus menyesuaikan keuangan keluarga. Orangtua seolah tak berdaya dan tak memiliki pilihan selain menerima semuanya.


Katak Rebus Pendidikan


Penyesuaian terus menerus yang dilakukan oleh orangtua itu dikhawatirkan akan menciptakan jebakan "katak rebus". Jebakan katak rebus adalah sebuah teori manajemen mengenai matinya seseorang/sistem karena kemampuan menyesuaikan dirinya tak dapat lagi mengikuti tekanan eksternal yang diterimanya secara gradual.

Ide mengenai teori "katak rebus" berasal dari percobaan seekor katak yang dimasukkan dalam bejana air dingin yang diletakkan di atas api. Seiring dengan meningkatnya suhu air yang ditempatinya, katak itu tak melompat untuk melarikan diri. Alih-alih, dia menyesuaikan suhu tubuhnya dengan suhu air yang ada di sekitarnya. Demikian, air sedikit demi sedikit menjadi panas, demikian pun suhu tubuh katak. Ketika air semakin mendidih, katak tak lagi memiliki kekuatan untuk melompat. Matilah dia dalam rebusan air yang menjadi tempat hidupnya.

Tentu saja kita tak menginginkan orangtua dan keluarga Indonesia "mati" oleh tekanan sosial eksternal yang dialaminya dengan intensitas yang terus meningkat. Walaupun memiliki kemampuan adaptasi dan menyesuaikan diri, selalu ada batas alam sebelum ada kematian atau "ledakan".

Itulah pelajaran dan peringatan dari alam yang mengingatkan kita.


Membuka Opsi Pendidikan


Salah satu cara untuk keluar dari jebakan "katak rebus" pendidikan adalah membuka opsi atau alternatif-alternatif pendidikan yang dapat dijalani oleh keluarga Indonesia. Monopoli model "sekolah formal" sebagai satu-satunya bentuk pendidikan yang diakui oleh negara dan sistem sosial harus diakhiri. Monopoli itu telah menempatkan orangtua pada obyek yang tidak memiliki pilihan dan mau tidak mau harus menelan pil pahit biaya pendidikan.

Dengan tetap berpegang pada spirit tujuan-tujuan pendidikan, banyak model selain pendidikan formal yang tetap dapat menjangkau tujuan-tujuan pendidikan. Model-model pendidikan nonformal dan informal (homeschooling) yang beraneka ragam sudah waktunya diangkat dan diberi kesempatan untuk tampil dalam dunia pendidikan Indonesia.

Dalam konteks meningkatnya beban biaya pendidikan, model pendidikan informal seperti homeschooling menawarkan paradigma baru dalam memandang biaya pendidikan. Secara kasat mata, homeschooling memotong biaya gedung dan biaya-biaya seremonial yang selama ini menjadi kewajiban yang dipaksakan kepada orangtua. Keluarga dapat berfokus pada esensi-esensi pendidikan yang ingin diraih dan dikuasai oleh anak-anaknya.

Model pendidikan homeschooling juga menggeser posisi kontrol keuangan dari pihak eksternal kepada orangtua. Pergeseran atas kontrol terhadap biaya pendidikan itu meningkatkan fleksibilitas yang selama ini tak pernah dimiliki orangtua. Dengan peningkatan fleksibilitas, orangtua dapat meningkatkan efisiensi alokasi dana yang dimilikinya untuk meraih kualitas pendidikan yang diinginkannya.


Lalu?

Sekolah mungkin menolak kritik terhadap mahalnya biaya penyelenggaraan pendidikan yang harus ditanggung orangtua. Pemerintah pun terus berdalih kurangnya dana untuk anggaran di bidang pendidikan. Lalu apa yang bisa kita lakukan sebagai orangtua dan anggota masyarakat yang berkepentingan atas pendidikan anak-anak kita?

Mungkin ada baiknya kita merenungkan sebuah kutipan dari Robert T. Kiyosaki, penulis buku "Rich Kid Smart Kid": "Setiap pilihan mempunya konsekuensi. Jika kita tidak menyukai pilihan dan konsekuensinya, kita harus mencari sebuah pilihan baru dengan konsekuensi baru."

Mahalnya biaya pendidikan pada akhirnya kembali lagi pada kita sebagai orangtua. Apakah kita menerimanya, ikut memperbaiki sistem sekolah, atau mencari pilihan baru dengan konsekuensi yang baru?

Waktunya bertindak, sudah cukup waktu untuk mengeluh. Untuk kepentingan kita, dan terutama masa depan terbaik anak-anak kita

Tidak ada komentar: